Iklan yang muncul di smartphone Android seringkali membuat para penggunanya terganggu. Berikut beberapa alasan mengapa HP muncul iklan terus.
Strategi Bisnis Xiaomi: MIUI System Ads
Xiaomi memiliki pendekatan berbeda terkait iklan di perangkatnya. Berbeda dari produsen ponsel lainnya, Xiaomi memposisikan diri sebagai perusahaan internet dan mengintegrasikan sistem iklan langsung ke dalam MIUI (antarmuka pengguna Xiaomi). Sistem MIUI System Ads ini menayangkan iklan yang telah bekerja sama dengan Xiaomi secara langsung di perangkat Anda.
Strategi ini memungkinkan Xiaomi untuk menghasilkan pendapatan dari iklan, yang kemudian digunakan untuk mensubsidi harga ponsel mereka. Ini adalah salah satu alasan mengapa produk-produk Xiaomi sering kali memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan pesaingnya. Dengan demikian, iklan yang Anda lihat di perangkat Xiaomi bukanlah hasil dari malware, tetapi merupakan bagian dari model bisnis Xiaomi yang memanfaatkan iklan untuk menambah pendapatan.
JAKARTA - Harga rumah yang terus naik menjadi penyebab banyak orang kesulitan memiliki tempat tinggal tetap. Bahkan hal ini menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk diraih oleh para generasi muda di usia produktif.
Setidaknya 3 dari 5 pemuda milenial saat ini belum memiliki tempat tinggal. Sebuah studi yang dilakukan oleh tSurvey terhadap 390 responden berusia 26 hingga 40 tahun menunjukan hal yang cukup menarik.
Di mana kelompok usia yang lebih matang, yakni 35-40 tahun memiliki persentase memiliki hunian yang lebih besar hingga 44%. Hal ini berbeda dengan kelompok usia 31-35 tahun sebesar 40% dan kelompok usia 26-30 tahun sebesar 38%.
Lantas kenapa harga rumah terus naik hingga membuat banyak orang yang kesulitan untuk memiliki rumah sendiri?
Melansir rumah123, Kamis (01/02/2024) berikut adalah 5 faktor yang membuat harga rumah terus naik setiap tahun.
Inflasi menjadi faktor umum yang membuat harga semua barang dan kebutuhan terus naik, termasuk juga rumah. Dalam dunia properti, inflasi ini membuat harga bahan baku material bangunan menjadi mahal. Hal ini jelas berpengaruh pada harga rumah karena tingginya biaya untuk membangun rumah itu sendiri.
2. Permintaan yang tinggi
Dalam prinsip ekonomi diketahui jika semakin tinggi permintaan suatu produk, maka semakin tinggi pula harganya. Hal ini berlaku juga pada rumah yang mana kini permintaan masyarakat untuk memiliki rumah sangat tinggi. Hal ini tidak lepas dari stigma bahwa jika telah memiliki rumah maka hidup jauh lebih tenang. Tingginya keinginan inilah yang menjadikan harganya menjadi mahal.
3. Minimnya lahan yang tersedia
Kenaikan harga rumah juga terjadi akibat minimnya lahan yang tersedia. Terutama di kota-kota besar, lahan yang bisa dibangun rumah sangatlah minim. Lahan yang minim membuat harga tanahnya menjadi mahal. Jadi saat tanah tersebut dibangun rumah, maka harga rumahnya juga akan ikut mahal.
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya
4. Perkembangan infrastruktur
Siapa sangka, perkembangan infrastruktur di kota-kota kecil juga berdampak pada kenaikan harga rumah. Hal ini bisa terjadi karena pembangunan infrastruktur yang merata membuat kemudahan akses masyarakat untuk menjangkau fasilitas publik. Rumah-rumah yang dibangun di dekat fasilitas publik di kota-kota tersebut jelas akan ikut mengalami kenaikan karena lokasinya yang menjadi strategis.
5. Kenaikan harga material
Berbagai hal yang terjadi di dunia akan berdampak kepada kenaikan harga barang termasuk material bangunan. Saat ini, harga material bangunan seperti besi semakin mahal imbas inflasi, konflik antar negara, dan lain sebagainya. Harga bahan yang naik akan membuat biaya pembuatan rumah ikut naik. Hal ini menjadikan harga jual rumahnya juga semakin tidak masuk akal.
Itulah 5 faktor yang membuat harga rumah terus naik setiap tahun.
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Pemerintah terus berupaya menekan konsumsi rokok oleh masyarakat. Salah satunya, dengan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata sebesar 10 persen mulai 1 Januari 2024.
Kenaikan CHT 10 persen ini sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022 tentang tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.
Langkah ini juga merupakan implikasi dari kebijakan kenaikan tarif CHT dua tahun berturut-turut yang ditetapkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir 2022 lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada PMK Nomor 191 Tahun 2022 ini, pemerintah memang sudah menetapkan batasan harga jual eceran dan tarif cukai per batang untuk hasil tembakau buatan dalam negeri. Di dalam lampiran satu aturan ini berisi batasan harga jual buatan dalam negeri untuk 2023 dan 2024, dan pada lampiran dua untuk produk impor pada 2023 dan 2024.
"Batasan Harga Jual Eceran per Batang atau Gram dan tarif cukai per batang atau gram Hasil Tembakau buatan dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf B Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2024," bunyi Pasal 2 ayat (2) huruf b aturan itu.
Untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) Golongan I misalnya, cukai naik 11,8 persen. Adapun harga jual eceran terendahnya naik dari Rp2.055 menjadi Rp2.260 per batang.
Lalu, cukai Sigaret Putih Mesin (SPM) Golongan I naik 11,9 persen. Harga jual eceran terendahnya naik dari Rp2.165 menjadi Rp2.380 per batang.
Kemudian, cukai Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau SPT Golongan I naik 4,7 persen. Dengan begitu, harga jual eceran terendahnya naik dari Rp1.250-Rp1.800 menjadi Rp1.375-Rp1.980 per batang.
Sedangkan, cukai Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) atau Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF) naik 11,8 persen. Harga jual eceran rokok terendah Rp2.260 per batang, sebelumnya Rp2.055 per batang.
Untuk mengurangi konsumsi rokok di rumah tangga miskin, anak, dan remaja, Jokowi juga telah melarang penjualan rokok ketengan. Hal ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.
Maklum, jumlah perokok di Indonesia memang cukup tinggi. Berdasarkan hasil survey Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Juni 2022, selama 10 tahun terakhir jumlah perokok naik 8,8 juta orang menjadi 69,1 jiwa.
Adapun pengeluaran rokok masyarakat Indonesia yang sebanyak 69,1 juta orang itu adalah sekitar Rp64 triliun per tahun.
Atlas Tembakau Indonesia pada 2020 melaporkan bahwa semakin miskin masyarakat, maka konsumsi rokoknya semakin tinggi. Konsumsi rokok laki-laki tertinggi berada pada kuintil kalangan bawah dengan persentase 82 persen.
Diikuti dengan kuintil menengah bawah sebesar 77,1 persen, kuintil menengah sebesar 73,3 persen, dan menengah atas sebesar 70,2 persen. Sementara itu, dari rokok masyarakat dari kuintil atas sebesar 58,4 persen.
Konsumsi rokok yang terbilang tinggi ini juga berkelindan dengan penyakit yang ditimbulkan. Tentu saja, hal ini juga membawa penyakit pada ekonomi RI.
Riset dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan konsumsi rokok menyebabkan kerugian ekonomi, khususnya sistem kesehatan dan keluarga, senilai Rp27,7 triliun.
Studi yang dilakukan 2019 ini mencatat angka yang jauh lebih besar dari penelitian Soewarta Kosen pada 2015. Pasalnya, penelitian sebelumnya hanya menyebut kerugian ekonomi akibat terganggunya kesehatan imbas rokok hanya sebesar Rp13,7 triliun.
Riset memeriksa sumber permasalahan dalam struktur pembiayaan BPJS Kesehatan dengan mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan untuk penyakit-penyakit mematikan namun dapat dicegah yang disebabkan oleh konsumsi rokok.
Dari sana, riset menemukan biaya rawat inap dan perawatan rujukan menjadi komponen pembiayaan tertinggi dengan cakupan mencapai 86,3 persen dan 87,6 persen dari keseluruhan beban biaya BPJS Kesehatan.
Lantas, apakah langkah pemerintah mengerek tarif cukai bisa mengerem konsumsi rokok masyarakat?
Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana menilai kenaikan cukai akan menurunkan tingkat konsumsi rokok. Namun penurunannya ini tidak sebanding dengan tingkat kenaikan harga keseluruhan.
Pasalnya, permintaan konsumsi rokok di masyarakat Indonesia sifatnya masih inelastis.
"Yang artinya masih banyak yang akan mempertahankan konsumsi rokok walaupun harga rokok naik, bahkan bagi masyarakat yang berada di garis kemiskinan sekalipun," tutur Andri kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/1).
Berdasarkan penelitian berjudul 'Tobacco Economics in Indonesia' yang diterbitkan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (The Union), di negara-negara maju, kenaikan harga sebesar 10 persen mengakibatkan penurunan konsumsi rokok sebesar 2,5 persen hingga 5 persen.
Sementara, penelitian di Indonesia menunjukkan kenaikan harga rokok sebesar 10 persen mengakibatkan penurunan konsumsi yang lebih besar, yakni 2,9 persen hingga 6,7 persen.Dari riset tersebut, Andri mengamini menaikkan cukai akan menurunkan tingkat konsumsi rokok, tapi tidak akan sebanyak kenaikan harga rokok yang sekitar 10 persen.
"Yang patut diwaspadai, menaikkan harga cukai rokok memiliki tendensi untuk masyarakat semakin banyak memilih substitusi lain yang lebih ekonomis, termasuk rokok ilegal yang tidak terkena cukai," ucap Andri.
Selain mengerek tarif cukai, Andri berpandangan pemerintah memiliki beberapa opsi lain untuk mengurangi konsumsi rokok. Salah satunya adalah penegakan ruang bebas asap rokok.
Di salah satu penelitian, kata dia, mewajibkan tempat kerja yang bebas asap rokok dapat mengurangi tingkat konsumsi rokok hingga 29 persen.
"Selain itu, kampanye kesadaran bahaya rokok di berbagai media yang masif dan tegas seperti kampanye Truth Initiative di luar negeri, dapat menurunkan tingkat konsumsi rokok hingga 22 persen," ujar Andri.
Setali tiga uang, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai kenaikan tarif cukai tidak akan terlalu mempengaruhi konsumsi rokok.
Meski begitu, menurut dia belum ada angka pasti berapa persen penurunan pengguna rokok akibat kenaikan cukai dari tahun ke tahun.
"Jika pun ada, saya cukup yakin angkanya lebih kecil dibanding dengan pertumbuhan perokok baru, karena peningkatan jumlah orang dewasa setiap tahun," kata Ronny.
Ia menuturkan pada awalnya diasumsikan jika harga rokok semakin mahal karena kenaikan cukai yang terus menerus setiap tahun, maka insentif perokok untuk mengonsumsi rokok semakin berkurang. Pada akhirnya, mereka memutuskan berhenti untuk merokok.
Tapi dalam tataran praktiknya, tentu urusannya tidak sesederhana itu. Ronny berpendapat keterkaitan rokok dengan perokok lebih dari sekadar hubungan kecocokan harga.
Oleh karena itu, tekanan secara fiskal belum efektif dalam mengurangi konsumsi rokok. Dibutuhkan penelitian sosial ekonomi yang lebih mendalam terkait perilaku merokok masyarakat untuk mendapatkan insight yang lebih komprehensif.
Ronny berpandangan kenaikan cukai yang berimbas pada tingginya harga malah membuat rokok menjadi salah satu kontributor inflasi dari tahun ke tahun. Apalagi, para perokok sulit untuk berhenti merokok.
Walhasil, semakin besar porsi pendapatan masyarakat yang terserap untuk membeli rokok. Akibat lanjutannya untuk kelas menengah ke bawah, daya beli mereka terhadap kebutuhan pokok dan kebutuhan sekunder lainya justru menurun.
"Sebab, karena sebagian pendapatannya harus menutup kenaikan harga rokok setiap tahun," imbuh Ronny.
Sama seperti Andri, Ronny pun berpandangan pemerintah bisa memakai instrumen lain yang dinilai mujarab menekan konsumsi rokok, seperti pembatasan aktivitas merokok di berbagai ruang publik.
Pemerintah juga bisa mengatur penjualan rokok hanya ke segmen umur tertentu, dengan pengawasan yang ketat. Selain itu, pemerintah juga memasifkan kampanye anti rokok.
Meski begitu, Ronny menilai pemerintah bakal menimbang-menimbang untuk melakukan upaya-upaya tersebut. Pasalnya, bisa berimbas negatif juga pada penerimaan negara dari cukai dan bisa menyebabkan kontraksi pada industri rokok, yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sejenisnya.
"Saya kira pemerintah tak akan bertindak lebih jauh, karena relasi pemerintah dengan rokok tidaklah sederhana. Relasinya berupa relasi benci tapi rindu," ucap Ronny.
Penerimaan cukai rokok di Indonesia tidak sedikit. Lihat saja, berdasarkan data Kemenkeu realisasi setoran CHT mencapai Rp188,9 triliun sepanjang 1 Januari-12 Desember 2023.
Memang, angka tersebut turun 3,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, jika dilihat setoran CHIT terus meningkat signifikan dalam satu dekade terakhir.
Tercatat, pada 2014 penerimaan CHT mencapai Rp112,5 triliun. Angka tersebut terus naik hingga mencapai rekor tertinggi pada 2022, yakni Rp218,6 triliun.
Sementara untuk 2024 ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani membidik penerimaan CHT senilai Rp230,4 triliun.
Target tersebut sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 tahun 2023 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2024.
Ronny mengatakan ada potensi fiskal yang besar dari industri rokok di satu sisi dan relasi sosial ekonomi di sisi lain. Dengan kata lain, industri rokok menjadi salah satu industri yang menyerap sangat banyak tenaga kerja serta memiliki multiplier effect ke sektor lainya.
"Karena itu, saya menduga, pemerintah akan terus menjadikan rokok sebagai sumber pendapatan dan penyedia tenaga kerja, sembari secara kontradiktif akan terus mengampanyekan imbas negatif dari rokok di ruang publik," ucap Ronny.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Akhmad Akbar Susamto mengamini kenaikan tarif cukai yang berbuntut pada peningkatan harga bisa mengurangi konsumsi rokok.
Namun demikian, kata dia, perlu diingat bahwa dampak kenaikan cukai rokok terhadap konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh kenaikan harga rokok itu sendiri, tetapi juga oleh faktor-faktor lain. Misalnya, perilaku perokok.
Menurut Akhmad, perokok yang memiliki kecanduan tinggi akan lebih sulit untuk berhenti merokok meskipun harga naik. Perokok jenis ini lebih memilih mengganti produk rokok mereka, dari yang lebih mahal ke yang lebih murah.
"Sebagian mungkin akan memilih untuk mengurangi belanja lain-lain demi mempertahankan konsumsi rokok mereka seperti sebelumnya," kata Akhmad.
Ia lantas mengingatkan bahwa kebijakan menaikkan cukai rokok sebenarnya bukan semata-mata karena alasan mengurangi konsumsi rokok. Akhmad menilai yang lebih sering terjadi adalah alasan lain, khususnya menaikkan pendapatan negara.
Dugaan Akhmad ini masuk akal. Seperti disinggung sebelumnya, Sri Mulyani menargetkan penerimaan cukai rokok tahun ini hingga Rp230,4 triliun.
Angka ini lebih tinggi dibanding target penerimaan cukai rokok 2023 seperti tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 Tentang Rincian Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2023, yakni Rp218,7 triliun.
"Jika memang pemerintah sungguh-sungguh ingin mengurangi konsumsi rokok, ada banyak instrumen lain yang sebenarnya lebih efektif," ucap Akhmad.
Ia pun merinci ada tiga instrumen yang dapat dipakai pemerintah. Pertama, melarang iklan dan promosi rokok. Pembatasan ini bertujuan untuk mengurangi daya tarik rokok terhadap masyarakat.
Kedua, menaikkan usia minimum pembelian rokok. Pembatasan ini bertujuan untuk mencegah anak-anak dan remaja untuk memulai merokok.
Ketiga, program iklan anti rokok. Akhmad berpendapat program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok.
"Program ini dapat dilakukan dengan menayangkan iklan anti rokok di media massa, seperti televisi, radio, dan media sosial," pungkasnya.
Adware dan Malware sebagai Penyebab Utama
Salah satu alasan utama HP muncul iklan terus adalah adanya adware atau malware yang terinstal di perangkat. Ketika Anda mengunduh aplikasi pihak ketiga, terutama dari sumber yang tidak terpercaya, ada kemungkinan aplikasi tersebut mengandung adware atau program yang dirancang untuk menampilkan iklan secara agresif.
Jika pengguna HP baru saja menginstal aplikasi dan mulai melihat iklan pop-up yang mengganggu, besar kemungkinan aplikasi tersebut adalah penyebabnya. Meskipun banyak pop-up ini tidak berbahaya, mereka sering kali menyamar sebagai notifikasi dari situs web terpercaya, padahal sebenarnya merupakan penipuan atau adware yang memanfaatkan celah keamanan di perangkat Android.